Soal Rencana Pemerintah Wajibkan Etanol 10 Persen di BBM, Ini Kata Pakar IPB

HALLONEWS.COM – Rencana pemerintah menerapkan kewajiban penggunaan bahan bakar minyak (BBM) etanol 10 persen atau E10 pada seluruh produk bensin di Indonesia direspon dosen Teknik Mesin dan Biosistem IPB University, Dr Leopold Oscar Nelwan.

Dr Leopold Oscar Nelwan berpendapat, produk bensin berbasis bioetanol telah tersedia di pasaran melalui ‘Pertamax Green 95’ dari Pertamina dengan kadar bioetanol lima persen.  Produk ini dikenal sebagai BBM Bensin E5 dan diatur melalui Keputusan Dirjen Minyak dan Gas Bumi No 252.K/HK.02/DJM/2023.

Menurut Dr Leopold Oscar Nelwan, wacana penerapan wajib E10 ke depan menjadi langkah yang menarik untuk dikaji dari berbagai aspek. 

Advertisements
Banner Hardee new

“Kebijakan ini bisa memiliki banyak keunggulan, tetapi juga tantangan teknis yang perlu diantisipasi,” kata Leopold kepada wartawan, Senin (13/10/2025).

Penerapan E10 menurut Dr Leopold, tidak hanya dapat meningkatkan proporsi energi terbarukan, tetapi juga mendukung strategi nasional menuju net zero emission.

Namun pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) bergantung pada banyak faktor, termasuk praktik budi daya bahan baku dan proses industri pengolahan bioetanol. 

“Saat ini, sumber utama bioetanol masih didominasi biomassa generasi pertama, yakni tanaman penghasil gula dan pati. 

Masalahnya, bahan baku ini masih bersaing dengan kebutuhan pangan,” jelasnya.

Maka itu, ia menilai pengembangan bahan baku sebaiknya diarahkan pada biomassa generasi kedua dan seterusnya, yang tidak berkompetisi dengan pangan. 

“Jika dilakukan dengan bijak, potensi pengurangan emisi GRK tentu dapat benar-benar diwujudkan,” ujarnya.

Untuk aspek lingkungan, kebijakan E10 berpotensi mengembangkan industri bioetanol dalam negeri dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. 

Hal ini turut membuka rantai pasok yang melibatkan banyak pihak, terutama petani. 

“Apabila bioetanol bisa diproduksi sepenuhnya di dalam negeri, kemandirian energi Indonesia akan semakin tangguh,” tutur Leopold.

Dari sisi kualitas bahan bakar, ia menjelaskan bahwa pencampuran etanol dengan bensin perlu memenuhi syarat teknis tertentu. 

Salah satunya, etanol yang digunakan harus memiliki kadar air kurang dari 0,3 persen volume per volume (v/v) karena sifatnya yang higroskopis atau mudah menyerap air.

“Jika kadar air terlalu tinggi, campuran bensin-etanol dapat mengalami pemisahan fasa yang berisiko menimbulkan korosi dan gangguan aliran bahan bakar. Permasalahan ini bisa diminimalkan bila kadar air campuran di bawah 0,15 persen m/m, sebagaimana diterapkan pada E5,” jelasnya.

“Utama itu penyusunan standar operasional prosedur (SOP) yang lebih ketat,” katanya lagi.

Menurut riset, kandungan bioetanol yang lebih tinggi, SOP ini penting untuk menjamin perubahan kualitas bahan bakar, terutama penyerapan air dari udara yang lembap.

“Memang ada isu juga saat pemakaian di konsumen, sebagaimana isu pada biodiesel, agar jangan terlalu lama bahan bakar tidak digunakan di tangki mobil yang memungkinkan hal di atas terjadi,” katanya.

Dr Leopold menambahkan bahwa meskipun bioetanol memiliki nilai kalor lebih rendah dibanding bensin murni, senyawa ini memiliki angka oktan (RON) yang tinggi, sehingga pencampuran dengan bensin dapat meningkatkan performa mesin berkompresi tinggi.

“Kendaraan modern dengan rasio kompresi besar justru diuntungkan dengan bahan bakar ber-RON tinggi seperti E10,” tuturnya. (*)

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *