Densus 88 Tangkap Empat Pendukung ISIS di Sumatera: Gerak Senyap di Dunia Maya

HALLONEWS.COM – Ketika ruang digital kian luas dan bebas, ideologi ekstrem justru menemukan lahan subur untuk tumbuh. Propaganda teror yang dilakukan kelompok teroris ISIS kini tak lagi disebarkan lewat pertemuan rahasia di tempat terpencil, tetapi lewat unggahan media sosial yang tampak biasa di mata publik.

Fenomena inilah yang kembali dihadapi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, yang pada awal Oktober 2025 berhasil mengamankan empat terduga pendukung kelompok teroris ISIS di Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Operasi senyap itu dilakukan pada 3 dan 6 Oktober 2025, menandai konsistensi aparat dalam memberantas jaringan Ansharud Daulah, kelompok teroris ISIS yang masih aktif menyebarkan paham kekerasan di Indonesia.

Advertisements
Banner Hardee new

Keempat individu tersebut masing-masing berinisial RW, KM, AY, dan RR, yang menurut penyidik Densus 88 terlibat dalam aktivitas penyebaran propaganda pro-ISIS melalui media sosial.

“Keempat pelaku ini menggunakan media sosial sebagai sarana utama untuk menyebarkan ideologi kekerasan dan mengajak orang lain terlibat dalam aksi teror,” ujar AKBP Mayndra Eka Wardhana, juru bicara Densus 88.

RW menjadi target pertama dalam operasi ini. Ia ditangkap pada Jumat, 3 Oktober 2025, pukul 12.58 WIB di Kota Padang, Sumatera Barat. Dalam penelusuran Densus 88, RW berperan sebagai konten kreator pro-ISIS, yang aktif mengunggah video, tulisan, serta gambar yang mempromosikan ideologi kekerasan. Ia juga kerap mengutip narasi jihad global untuk membangkitkan simpati terhadap ISIS.

Dua hari kemudian, pada Senin, 6 Oktober, aparat kembali bergerak di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kota Padang. Di sana, KM dan AY diamankan hampir bersamaan. Keduanya memiliki peran serupa sebagai penyebar propaganda. KM dikenal sering membagikan gambar senjata api dan video latihan bersenjata, sementara AY menyebarkan konten khilafah dan ajakan untuk menolak pemerintahan yang sah.

Penangkapan terakhir terjadi di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada pagi hari yang sama pukul 07.06 WIB. RR, yang disebut sebagai provokator digital, aktif mengunggah konten berisi hasutan untuk melakukan aksi teror dan menjalin komunikasi dengan simpatisan lain di berbagai daerah.

Dari operasi tersebut, Densus 88 menyita sejumlah barang bukti yang memperkuat dugaan keterlibatan mereka dalam jaringan ISIS. Di antaranya rompi loreng hijau, tiga lembar kertas bertuliskan logo ISIS, serta beberapa buku bertema radikalisme, seperti Kupas Tuntas Khilafah Islamiyyah, Melawan Penguasa, dan Al Qiyadah wal Jundiyah.

“Barang-barang bukti ini menunjukkan bahwa para pelaku tidak sekadar simpatisan pasif, tapi benar-benar berupaya menanamkan paham kekerasan ke publik melalui ruang digital,” jelas AKBP Mayndra.

Penggunaan media sosial sebagai sarana perekrutan dan propaganda bukan hal baru bagi jaringan teroris. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pola ini berkembang pesat seiring meningkatnya akses internet di daerah-daerah. Mereka memanfaatkan algoritma media sosial untuk menyebar konten ekstrem yang disamarkan dalam bentuk dakwah atau wacana politik keagamaan.

Menurut pakar keamanan siber, radikalisasi digital kini menjadi tantangan utama penegakan hukum di Indonesia. “Internet membuka ruang bagi siapa saja untuk memproduksi narasi ekstrem. Ini membuat radikalisme sulit dilacak karena berlangsung secara tersebar dan personal,” ujar seorang analis dari Pusat Kajian Terorisme Universitas Indonesia.

Meski operasi antiteror kerap dikaitkan dengan tindakan keras, Polri menegaskan bahwa penindakan terhadap para terduga teroris tetap dilakukan secara profesional, proporsional, dan sesuai prosedur hukum.

“Seluruh proses penegakan hukum dilakukan dengan prinsip kehati-hatian dan tetap menghormati hak asasi manusia. Saat ini keempat pelaku masih menjalani pemeriksaan intensif,” ujar AKBP Mayndra menegaskan.

Langkah tersebut sejalan dengan paradigma baru dalam pemberantasan terorisme di Indonesia: menangani akar persoalan, bukan hanya gejalanya.

Selain penindakan, Densus 88 bersama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terus mengembangkan program deradikalisasi dan literasi digital untuk mencegah penyebaran ideologi ekstrem di kalangan masyarakat muda.

Kasus penangkapan empat pendukung ISIS ini menjadi pengingat bahwa ancaman terorisme belum benar-benar hilang. Bentuknya berubah — dari pertemuan rahasia menjadi obrolan daring, dari propaganda di masjid-masjid kecil menjadi unggahan di media sosial yang bisa diakses jutaan orang.

Pakar keamanan menilai, masyarakat kini perlu lebih kritis terhadap informasi yang beredar di dunia maya. “Radikalisme sering kali berawal dari ketidaktahuan dan rasa ingin tahu. Ketika narasi kekerasan dibungkus dengan dalih keagamaan, banyak yang tidak sadar sedang disesatkan,” ungkapnya.

Densus 88 pun terus mengingatkan bahwa perang melawan terorisme tidak hanya tugas aparat, tetapi juga tanggung jawab bersama. Kolaborasi masyarakat dalam melaporkan aktivitas mencurigakan, baik di dunia nyata maupun digital, menjadi kunci utama dalam menekan ancaman teror. (*)

Bagikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *